Jumat, 28 Maret 2008

ALAM UNTUK ANAK CUC

ALAM UNTUK ANAK CUCU

Text Box: Atau lebih bangga akan ini ?Text Box: Apa kita tak bangga dengan ini?

ALAM UNTUK ANAK CUCUAlam dan isinya bukan warisan Nenek moyang, tapi titipan Anak Cucu...

Apa yang tersirat dari kata-kata ini ? sebuah suratan yang mengartikan bahwa alam bukan hanya untuk kita yang sedang menikmatinya didunia sekarang ini, tetapi untuk esok hari kita persembahkan buat generasi penerus Bumi ini. Apakah kita akan bersikap adil dengan mereka ? atau tidak ? apakah mereka akan mencium harum Bunga Mawar ? atau mereka hanya mencium bau karbon saja ? apa mereka akan melihat secara langsung Kucing Besar di Hutan belantara ? atau hanya dapat mereka saksikan di film-film yang sudah diarsipkan saja ?

Apa artinya bumi bila tak ada warna hijau ? dimana letak sumber pernafasan kita untuk esok ? apakah masih ada keindahan sejati di Bumi untuk jangka waktu 150 tahun kemudian ? semua jawaban itu hanya akan ada ketika kita bisa menyelamatkan itu semua, bukan hanya dengan kata tetapi perbuatan dan nyawa. Apakah dengan begitu ekstrimnya ? Jawabnya ya kalau memang semua sudah teramat kelewat batas. Ingat jangan terlalu memikirkan diri sendiri, masih banyak makhluk diluar sana yang memohon minta pertolongan kita. Atau kita Manusia memang hanya bisa menjadi perusak saja ? apakah itu cerminan dari makhluk yang tercipta paling sempurna dimuka Bumi ini ?

Pernahkah kamu berfikir, kita Manusia selalu membayangkan akan euforia masa depan. Bahkan bersifat terlalu Over Optimis, tapi pernahkah kita memikirkan untuk masa depan orang lain, minimal anak kita nantinya. Apakah mereka akan lahir tanpa mempunyai jiwa yang patriot akan Alam dan Lingkungannya, atau mereka semua hanya akan mendengarkannya saja, tetapi tidak merasakannya.

Apalagi yang kurang banjir, erosi, longsor, kebakaran hutan, kepunahan hewan-hewan langka, dll. Apakah ini biasa ? atau luar biasa ? apakah kita yang akan meminta pertanggung jawabanan pada alam bahkan menyalahkannya karena orang yang kita sayangi cacat karena rumahnya terkena longsor, Atau kita akan menyalahkan mereka ketika orang yang kita sayangi wafat saat menjadi korban Banjir. Ironis sedangkan fakta yang terjadi kita sendirilah yang membunuh orang yang kita sayangi itu dengan tidak langsung.

Ingat Bumi kita sudah tua, sudah mulai botak bahkan kutu-kutu di kulit Bumipun sudah mulai punah satu-persatu. Dimakan usiakah mereka atau dimakan zaman ? sudah saatnya melakukan perubahan yang lebih berarti untuk kehidupan kita bersama, serta untuk anak cucu kita nanti.

Jangan jadi Manusia yang merugikan makhluk lainnya, sudah tidak zamannya lagi kita berlomba-lomba untuk memamerkan kesempurnaan kita, padahal yang sebenarnya kita lebih rendah dari makhluk yang paling rendah. Ingat pepatah tentang ”bahkan seekor induk Harimaupun takkan tega memakan anaknya sendiri” apakah ini tak berlaku bagi kita Manusia. ( A_D 232 / AM )

Sabtu, 22 Maret 2008

Rabu, 19 Maret 2008

Jumat, 14 Maret 2008

ARTIKEL LINGKUNGAN

MENGGAGAS PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE KOTA PADANG

Oleh : Hendri Teja* NAG 02.18.377

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Q.S Ar Rumm : 41)

Anthony Giddens dalam buku Jalan Ketiga-nya yang monumental, mengajukan dua pertanyaan sederhana yang menggelitik pemikiran kita bersama. Benarkah sejarah akan bergerak menurut garis lurus yang menanjak ? Benarkah dunia makin memperbaiki dirinya dan menghasilkan kemajuan ? Kenyataannya jalannya kehidupan di bumi ini pun telah semakin memuai resiko yang besar, dalam segala aspek kehidupan, dan kondisi tersebut memang di sebabkan oleh teknologi yang tak tepat sasaran dan tak bernilai yang dilakukan oleh manusia.

Kondisi Hutan Mangrove Kota Padang Latar Belakang

Secara geografis Kota Padang dapat di kategorikan sebagai kawasan pesisir dengan potensi hutan mangrove seluas 120 Ha (data Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Padang, 2004). Ironisnya segala manfaat dan potensi dari hutan mangrove tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal dan optimal untuk kesejahteraan kota Padang, bahkan kini telah terjadi peningkatan resiko bencana lingkungan yang mengancam kehidupan warga kota khususnya yang berdomisili di kawasan pantai.

UU. No 40 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3 point c1 menegaskan setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 130 (seratus tiga puluh ) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Namun peraturan tampaknya tinggal peraturan. Kenyataannya penelitian Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada tanggal 1-4 Desember 2005 menemukan kalau kerusakan hutan mangrove di kota Padang telah mencapai 70 % dari 120 ha yang terjadi di daerah S. Pisang, Bungus, Teluk Kabung, Koto Tengah. Jumlah ini melonjak drastis dari penelitian Yayasan Minang Bahari, sebuah LSM yang konsern dengan kawasan pesisir Sumbar, pada 2004 yang memprediksi hanya mencapai 15-25 %.

Dari kerusakan tersebut Dr. Ir. H Enni Kamal,, praktisi kelautan Sumbar memperkirakan kondisi tersebut berakibat penurunan tangkapan ikan nelayan kota Padang hingga 84 ton/tahunnya. Selain itu diperkirakan 30 meter daratan di sepanjang Pesisir Pantai Sumatra Barat mengalami pengikisan air laut dan sudah lebih dari 500 unit rumah penduduk di pinggiran pesisir hanyut diterjang gelombang.

Resiko abrasi pun mengancam kota Padang. Beberapa waktu yang lalu beberapa media lokal telah mengabarkan hancurnya beberapa rumah di Purus dan Ulakkarang. Selain itu, kota Padang yang terletak di jalur patahan lempengan bumi di sepanjang Pulau Sumatera membuat isu resiko tsunami pun cukup besar (LIPI, 2005) apalagi dengan kondisi kepadatan penduduk 300.000 jiwa sepanjang pesisir pantai Padang.

Ironisnya, meski dewasa ini pembangunan kota mulai diarahkan ke kawasan pesisir, seperti pembangunan kawasan wisata Pantai Padang dan Pantai Air Manis serta ringroad Pusat Kota-Ketaping, hingga saat ini Pemko belum tampak memberikan perhatian serius akan upaya pengrehabilitasi kawasan pesisir.

Penyebab Kerusakan

Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu maka pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2).

Dalam pelaksanaan wewenangnya Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan Pemprov dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan). Khusus di kota Padang, pengelolaan kawasan hutan mangrove telah menjadi fungsi dan tanggung jawab dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Padang (Disperhut Padang).

Permasalahan ketidakefektifan pengelolaan hutan mangrove di kota Padang, dapat digambarkan dengan beberapa faktor penyebab. Pertama, ketidak jelasan wewenang. Meski dikelola oleh Diperhuta Padang tetapi dalam penyelenggaraannya sering kali terjadi tumpang tindih wewenang Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang (Diskeperi Padang). Kondisi ini disebabkan karena meski secara fisik hutan, tetapi secara geografis hutan mangrove terletak di kawasan pesisir dan terkait erat dengan kehidupan nelayan tradisional. Akibatnya, meminjam istilah Enni Kamal, antara kedua dinas ini seringkali terjadi ‘lempar bola’ dalam pengelolaan hutan mangrove.

Kedua, tiadanya program yang jelas. Disperhut Padang bukan hanya bertenggungjawab untuk mengelola kawasan hutan tetapi juga sektor pertanian dan perkebunan. Minimimnya kuantitas SDM dan fasilitas, yang acap kali jadi persoalan klasik dari institusi pemerintah, menjadi salah satu sebab utama mandulnya peranan Disperhut Padang dalam upaya pelestarian hutan mangrove di wilayahnya.

Ironisnya program pembangunan kehutanan Disperhut Padang cenderung menganaktirikan hutan pesisir ketimbang hutan dataran tinggi. Program Clean and Green City pun seakan terfokus untuk memperbaiki kawasan DAS dan pebukitan, dengan penanaman pinang dan mahoni-nya sementara hutan mangrove terpinggirkan. Padahal penjelasan UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 1 telah menegaskan kalau rehabiltasi hutan mangrove dan hutan rawa mesti mendapat perhatian yang sama sebagaimana hutan pada kawasan lainnya.

Jangankan untuk melakukan rehabilitasi lahan yang memakan waktu bertahun-tahun untuk melestarikan kawasan yang masih ada saja Disperhut Padang masih kesulitan. Tidak perlu kita melihat jauh-jauh ke kawasan S. Pisang, Bungus, Teluk Kabung, Koto Tengah yang pengawasan tentu membutuhkan dana yang cukup tinggi. Untuk kawasan kota sendiri seperti hutan mangrove di Air Tawar dan Parupuk Tabing, sebagai catchmean area Air Tawar dan Tabing, sendiri hingga saat ini belum ada kebijakan yang mengikat.

Dari 181 Ha total luas keduanya, menurut data MPALH UNP dalam lima tahun terakhir (1999-2004) telah terjadi deforestasi mangrove sejumlah 60 %, yaitu dari 20 ha menjadi 12 Ha lahan basah dan 15 Ha menjadi 8 Ha. Penyebabnya adalah konversi lahan dari hutan menjadi pemukiman dan jalan. Kondisi ini jelas terkait sekali dengan tata ruang pantai dan kelayakan AMDAL dari infrastruktur tersebut.

Ironisnya, masyarakat pinggir hutan, seperti Sungai Pisang dan Telukbuo Bungus, yang telah melakukan usaha konservasi secara swadaya belum mendapat insentif yang sepadan dari Pemko atas jasa lingkungan yang telah mereka lakukan. Pembangunan di kawasan tersebut masih tetap tertinggal, mulai dari fasum, seperti sekolah, listrik dan transportasi hingga persoalan ekonomi di kawasan tersebut.

Ketiga, program Pemko tidak lengkap. Semenjak bencana gempa dan tsunami di NAD pada akhir 2004 dan data-data ilmiah yang menunjukkan resiko rawan gempa tsunami yang tinggi, kota Padang telah membangun diri sebagai pylot project kota yang siap untuk mengantisipasi terjadinya bencana lingkungan tersebut. Bekerjasama dengan masyarakat dan institusi terkait yang konsern dengan penanggulangan bencana lingkungan, Pemko Padang berbagai mitigasi, penyuluhan, pemasangan plang kawasan aman tsunami hingga simulasi tsunami yang disiarkan ke seluruh Nusantara.

Tetapi antisipasi gempa dan tsunami bukan sekedar perubahan pemikiran masyarakat. Boleh jadi Pemko telah mengamankan kota Padang tengah pembangunan seawall, yang rencananya dari pusat Kota ke Ketaping Pariaman tetapi apakah itu cukup. Apakah potensi seawall tersebut sebanding dengan potensi green bell yang dimiliki hutan mangrove ? Mulai dari potensi penghambat tsunami, potensi pencegah instruksi air laut, potensi tempat berpijahnya ikan, potensi suplay kayu dan potensi lainnya.

Alternatif Penyelesaian.

Tindakan Pemprov Sumbar yang mengusulkan diberlakukannya Perda Kawasan Pesisir dapat dikategorikan sebagai langkah maju dalam pelestarian sumber daya alam kawasan tepi pantai tersebut, tetapi yang lebih penting lagi adalah adanya kesepahaman antara pemerintahan provinsi dan kota/kabupaten di Sumatera Barat tentang arah pengelolaan kawasan pesisir sendiri, khususnya kawasan mangrove. Blue print ini menurut Dr. Ir. Enni Kamal dapat menjadi strategi pengelolaan hutan mangrove di Sumbar dengan melibatkan segenap stake holder sehingga pengelolaannya dapat lebih terarah.

Pembuatan blue print kawasan pesisir pun dapat juga dilakukan dalam wilayah kota Padang. Walikota Padang dapat menggagas semacam semiloka kawasan pesisir yang melibatkan institusi terkait, terutama Disperhut Padang, Diskepri Padang. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Padang, akademisi, para pelestari lingkungan dan tentu saja masyarakat setempat.

Semiloka tersebut mesti mampu menjawab empat (4) buah pertanyaan dasar yaitu :

(1) Siapa instansi utama pengelola kawasan, yang akan menjadi koordinator atas segenap proses pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut ? Yang jelas pengelolaannya mesti satu pintu. Tindakan ‘lempar bola’ mesti dihentikan, kawasan mangrove harus dikelola oleh satu institusi khusus. Meski secara fisik berbentuk hutan tetapi kaitan sosial hutan mangrove lebih terkait dengan masyarakat pesisir sehingga alangkah lebih baiknya bila kawasan mangrove langsung saja dikelola oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota, dengan berkoordinasi dengan institusi terkait lainnya.

(2) Bagaimana penguatan pendidikan dan ekonomi masyarakat setempat ? Belajar dari Malaysia yang mengupayakan pinjaman lunak kepada nelayan mereka dengan bunga 0,5 % pertahun, maka Dr. Enni Kamal merekomendasikan agar Bank Nagari pun dapat berperan seperti itu. Pengelolaan dana tersebut mesti dihimpun dalam bentuk koperasi. Kondisi ini terbukti sukses di mana sebuah koperasi nelayan di Air Bangis Pasaman mampu mengelola dana hingga Rp 2 milyar pada tahun 1992 yang lalu.

Penguatan pendidikan dan teknologi masyarakat pesisir. Sudah saatnya orientasi pendidikan tidak lagi melangit tetapi membumi. Kurikulum pendidikan masyarakat pesisir mesti memasukan mata pelajaran yang memuat unsur dan instrument sumber daya ekonomi yang tersedia di kawasan itu sendiri. Sehingga tamatan pendidikan tersebut langsung dapat menerapkan keterampilan dan teknologi tersebut di kawasan lingkungan mereka sendiri. Bila perlu dilakukan juga kerjasama dengan institusi perguruan tinggi yang terkait.

(3) Bagaimana strategi pengrehabilitasian wilayah yang telah rusak dan penjagaan wilayah yang masih lestari ? Akankah tetap Pemko melalui koordinator dinas-nya melakukan pengelolaan yang bersifat tickle down atau pengelolaan tersebut dapat diserahkan kepada masyarakat mengingat berdasarkan ketentuan-ketentuan ulayat maka setiap jengkal tanah di Sumbar ini ada pemiliknya (ulayat suku, ulayat kaum). Untuk hutan adat yang masih eksis masyarakat adatnya sesuai dengan ketentuan dan syarat di UU Kehutanan, mengapa pengelolaannya tidak diberikan kepada mereka. Dan fungsi koordinator Dinas hanyalah memberikan fasilitator kawasan dan pengawasan agar pola pemanfaatannya sesuai dengan blue print yang telah disusun.

(4) Bagaimana bentuk tata ruang pesisir yang menunjang PAD tetapi memiliki nilai-nilai pelestarian alam ? Penyusunan rencana tata ruang pesisir kota. Inkonsistensi dalam penerapan tata ruang pesisir kota merupakan penyebab utama terjadinya deforestasi hutan mangrove kota Padang. Pemko mesti menjadi fasilitator dan mediator dalam penyusunan rencana tata ruang pantai kota yang melibatkan segenap stakeholder yang ada

Diharapkan proses penyusunan partisipatif tersebut dapat menjadi starting point bagi Pemko untuk bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat yang telah dan peduli dengan kelestarian hutan mangrove dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. * penulis adalah Sekum Relawan Hutan Indonesia Sumatera Barat/ Koord. Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia Sumatera Barat (FK3I Sumbar)

Kamis, 06 Maret 2008

MPALH UNP

MPALH UNP adalah organisasi kepecinta alaman Universitas Negeri Padang yang berdiri sejak 22oktober 1984.MPALH (MAHASISWA PECINTA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP) telah banyak bergerak di bidang kepetualangan,sosial,dan aktivitas lingkungan hidup lainnya.Di MPALH terdapat 4 divisi yakni :divisi GHR(Gunung Hutan Rimba),Caving(Penelusuran Goa),Rock Climbing(Panjat Tebing) dan Lingkungan Hidup.