MENGGAGAS PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE KOTA PADANG
Oleh : Hendri Teja* NAG 02.18.377
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Q.S Ar Rumm : 41)
Anthony Giddens dalam buku Jalan Ketiga-nya yang monumental, mengajukan dua pertanyaan sederhana yang menggelitik pemikiran kita bersama. Benarkah sejarah akan bergerak menurut garis lurus yang menanjak ? Benarkah dunia makin memperbaiki dirinya dan menghasilkan kemajuan ? Kenyataannya jalannya kehidupan di bumi ini pun telah semakin memuai resiko yang besar, dalam segala aspek kehidupan, dan kondisi tersebut memang di sebabkan oleh teknologi yang tak tepat sasaran dan tak bernilai yang dilakukan oleh manusia.
Kondisi Hutan Mangrove Kota Padang Latar Belakang
Secara geografis Kota Padang dapat di kategorikan sebagai kawasan pesisir dengan potensi hutan mangrove seluas 120 Ha (data Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Padang, 2004). Ironisnya segala manfaat dan potensi dari hutan mangrove tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal dan optimal untuk kesejahteraan kota Padang, bahkan kini telah terjadi peningkatan resiko bencana lingkungan yang mengancam kehidupan warga kota khususnya yang berdomisili di kawasan pantai.
UU. No 40 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3 point c1 menegaskan setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 130 (seratus tiga puluh ) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Namun peraturan tampaknya tinggal peraturan. Kenyataannya penelitian Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada tanggal 1-4 Desember 2005 menemukan kalau kerusakan hutan mangrove di kota Padang telah mencapai 70 % dari 120 ha yang terjadi di daerah S. Pisang, Bungus, Teluk Kabung, Koto Tengah. Jumlah ini melonjak drastis dari penelitian Yayasan Minang Bahari, sebuah LSM yang konsern dengan kawasan pesisir Sumbar, pada 2004 yang memprediksi hanya mencapai 15-25 %.
Dari kerusakan tersebut Dr. Ir. H Enni Kamal,, praktisi kelautan Sumbar memperkirakan kondisi tersebut berakibat penurunan tangkapan ikan nelayan kota Padang hingga 84 ton/tahunnya. Selain itu diperkirakan 30 meter daratan di sepanjang Pesisir Pantai Sumatra Barat mengalami pengikisan air laut dan sudah lebih dari 500 unit rumah penduduk di pinggiran pesisir hanyut diterjang gelombang.
Resiko abrasi pun mengancam kota Padang. Beberapa waktu yang lalu beberapa media lokal telah mengabarkan hancurnya beberapa rumah di Purus dan Ulakkarang. Selain itu, kota Padang yang terletak di jalur patahan lempengan bumi di sepanjang Pulau Sumatera membuat isu resiko tsunami pun cukup besar (LIPI, 2005) apalagi dengan kondisi kepadatan penduduk 300.000 jiwa sepanjang pesisir pantai Padang.
Ironisnya, meski dewasa ini pembangunan kota mulai diarahkan ke kawasan pesisir, seperti pembangunan kawasan wisata Pantai Padang dan Pantai Air Manis serta ringroad Pusat Kota-Ketaping, hingga saat ini Pemko belum tampak memberikan perhatian serius akan upaya pengrehabilitasi kawasan pesisir.
Penyebab Kerusakan
Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu maka pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2).
Dalam pelaksanaan wewenangnya Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan Pemprov dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan). Khusus di kota Padang, pengelolaan kawasan hutan mangrove telah menjadi fungsi dan tanggung jawab dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Padang (Disperhut Padang).
Permasalahan ketidakefektifan pengelolaan hutan mangrove di kota Padang, dapat digambarkan dengan beberapa faktor penyebab. Pertama, ketidak jelasan wewenang. Meski dikelola oleh Diperhuta Padang tetapi dalam penyelenggaraannya sering kali terjadi tumpang tindih wewenang Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang (Diskeperi Padang). Kondisi ini disebabkan karena meski secara fisik hutan, tetapi secara geografis hutan mangrove terletak di kawasan pesisir dan terkait erat dengan kehidupan nelayan tradisional. Akibatnya, meminjam istilah Enni Kamal, antara kedua dinas ini seringkali terjadi ‘lempar bola’ dalam pengelolaan hutan mangrove.
Kedua, tiadanya program yang jelas. Disperhut Padang bukan hanya bertenggungjawab untuk mengelola kawasan hutan tetapi juga sektor pertanian dan perkebunan. Minimimnya kuantitas SDM dan fasilitas, yang acap kali jadi persoalan klasik dari institusi pemerintah, menjadi salah satu sebab utama mandulnya peranan Disperhut Padang dalam upaya pelestarian hutan mangrove di wilayahnya.
Ironisnya program pembangunan kehutanan Disperhut Padang cenderung menganaktirikan hutan pesisir ketimbang hutan dataran tinggi. Program Clean and Green City pun seakan terfokus untuk memperbaiki kawasan DAS dan pebukitan, dengan penanaman pinang dan mahoni-nya sementara hutan mangrove terpinggirkan. Padahal penjelasan UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 1 telah menegaskan kalau rehabiltasi hutan mangrove dan hutan rawa mesti mendapat perhatian yang sama sebagaimana hutan pada kawasan lainnya.
Jangankan untuk melakukan rehabilitasi lahan yang memakan waktu bertahun-tahun untuk melestarikan kawasan yang masih ada saja Disperhut Padang masih kesulitan. Tidak perlu kita melihat jauh-jauh ke kawasan S. Pisang, Bungus, Teluk Kabung, Koto Tengah yang pengawasan tentu membutuhkan dana yang cukup tinggi. Untuk kawasan kota sendiri seperti hutan mangrove di Air Tawar dan Parupuk Tabing, sebagai catchmean area Air Tawar dan Tabing, sendiri hingga saat ini belum ada kebijakan yang mengikat.
Dari 181 Ha total luas keduanya, menurut data MPALH UNP dalam lima tahun terakhir (1999-2004) telah terjadi deforestasi mangrove sejumlah 60 %, yaitu dari 20 ha menjadi 12 Ha lahan basah dan 15 Ha menjadi 8 Ha. Penyebabnya adalah konversi lahan dari hutan menjadi pemukiman dan jalan. Kondisi ini jelas terkait sekali dengan tata ruang pantai dan kelayakan AMDAL dari infrastruktur tersebut.
Ironisnya, masyarakat pinggir hutan, seperti Sungai Pisang dan Telukbuo Bungus, yang telah melakukan usaha konservasi secara swadaya belum mendapat insentif yang sepadan dari Pemko atas jasa lingkungan yang telah mereka lakukan. Pembangunan di kawasan tersebut masih tetap tertinggal, mulai dari fasum, seperti sekolah, listrik dan transportasi hingga persoalan ekonomi di kawasan tersebut.
Ketiga, program Pemko tidak lengkap. Semenjak bencana gempa dan tsunami di NAD pada akhir 2004 dan data-data ilmiah yang menunjukkan resiko rawan gempa tsunami yang tinggi, kota Padang telah membangun diri sebagai pylot project kota yang siap untuk mengantisipasi terjadinya bencana lingkungan tersebut. Bekerjasama dengan masyarakat dan institusi terkait yang konsern dengan penanggulangan bencana lingkungan, Pemko Padang berbagai mitigasi, penyuluhan, pemasangan plang kawasan aman tsunami hingga simulasi tsunami yang disiarkan ke seluruh Nusantara.
Tetapi antisipasi gempa dan tsunami bukan sekedar perubahan pemikiran masyarakat. Boleh jadi Pemko telah mengamankan kota Padang tengah pembangunan seawall, yang rencananya dari pusat Kota ke Ketaping Pariaman tetapi apakah itu cukup. Apakah potensi seawall tersebut sebanding dengan potensi green bell yang dimiliki hutan mangrove ? Mulai dari potensi penghambat tsunami, potensi pencegah instruksi air laut, potensi tempat berpijahnya ikan, potensi suplay kayu dan potensi lainnya.
Alternatif Penyelesaian.
Tindakan Pemprov Sumbar yang mengusulkan diberlakukannya Perda Kawasan Pesisir dapat dikategorikan sebagai langkah maju dalam pelestarian sumber daya alam kawasan tepi pantai tersebut, tetapi yang lebih penting lagi adalah adanya kesepahaman antara pemerintahan provinsi dan kota/kabupaten di Sumatera Barat tentang arah pengelolaan kawasan pesisir sendiri, khususnya kawasan mangrove. Blue print ini menurut Dr. Ir. Enni Kamal dapat menjadi strategi pengelolaan hutan mangrove di Sumbar dengan melibatkan segenap stake holder sehingga pengelolaannya dapat lebih terarah.
Pembuatan blue print kawasan pesisir pun dapat juga dilakukan dalam wilayah kota Padang. Walikota Padang dapat menggagas semacam semiloka kawasan pesisir yang melibatkan institusi terkait, terutama Disperhut Padang, Diskepri Padang. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Padang, akademisi, para pelestari lingkungan dan tentu saja masyarakat setempat.
Semiloka tersebut mesti mampu menjawab empat (4) buah pertanyaan dasar yaitu :
(1) Siapa instansi utama pengelola kawasan, yang akan menjadi koordinator atas segenap proses pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut ? Yang jelas pengelolaannya mesti satu pintu. Tindakan ‘lempar bola’ mesti dihentikan, kawasan mangrove harus dikelola oleh satu institusi khusus. Meski secara fisik berbentuk hutan tetapi kaitan sosial hutan mangrove lebih terkait dengan masyarakat pesisir sehingga alangkah lebih baiknya bila kawasan mangrove langsung saja dikelola oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota, dengan berkoordinasi dengan institusi terkait lainnya.
(2) Bagaimana penguatan pendidikan dan ekonomi masyarakat setempat ? Belajar dari Malaysia yang mengupayakan pinjaman lunak kepada nelayan mereka dengan bunga 0,5 % pertahun, maka Dr. Enni Kamal merekomendasikan agar Bank Nagari pun dapat berperan seperti itu. Pengelolaan dana tersebut mesti dihimpun dalam bentuk koperasi. Kondisi ini terbukti sukses di mana sebuah koperasi nelayan di Air Bangis Pasaman mampu mengelola dana hingga Rp 2 milyar pada tahun 1992 yang lalu.
Penguatan pendidikan dan teknologi masyarakat pesisir. Sudah saatnya orientasi pendidikan tidak lagi melangit tetapi membumi. Kurikulum pendidikan masyarakat pesisir mesti memasukan mata pelajaran yang memuat unsur dan instrument sumber daya ekonomi yang tersedia di kawasan itu sendiri. Sehingga tamatan pendidikan tersebut langsung dapat menerapkan keterampilan dan teknologi tersebut di kawasan lingkungan mereka sendiri. Bila perlu dilakukan juga kerjasama dengan institusi perguruan tinggi yang terkait.
(3) Bagaimana strategi pengrehabilitasian wilayah yang telah rusak dan penjagaan wilayah yang masih lestari ? Akankah tetap Pemko melalui koordinator dinas-nya melakukan pengelolaan yang bersifat tickle down atau pengelolaan tersebut dapat diserahkan kepada masyarakat mengingat berdasarkan ketentuan-ketentuan ulayat maka setiap jengkal tanah di Sumbar ini ada pemiliknya (ulayat suku, ulayat kaum). Untuk hutan adat yang masih eksis masyarakat adatnya sesuai dengan ketentuan dan syarat di UU Kehutanan, mengapa pengelolaannya tidak diberikan kepada mereka. Dan fungsi koordinator Dinas hanyalah memberikan fasilitator kawasan dan pengawasan agar pola pemanfaatannya sesuai dengan blue print yang telah disusun.
(4) Bagaimana bentuk tata ruang pesisir yang menunjang PAD tetapi memiliki nilai-nilai pelestarian alam ? Penyusunan rencana tata ruang pesisir kota. Inkonsistensi dalam penerapan tata ruang pesisir kota merupakan penyebab utama terjadinya deforestasi hutan mangrove kota Padang. Pemko mesti menjadi fasilitator dan mediator dalam penyusunan rencana tata ruang pantai kota yang melibatkan segenap stakeholder yang ada
Diharapkan proses penyusunan partisipatif tersebut dapat menjadi starting point bagi Pemko untuk bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat yang telah dan peduli dengan kelestarian hutan mangrove dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. * penulis adalah Sekum Relawan Hutan Indonesia Sumatera Barat/ Koord. Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia Sumatera Barat (FK3I Sumbar)